Oleh asy-Syaikh Dr. Abu Anas Muhammad Bin Musa Alu Nashr -hafizhahullah-
Palestina adalah bumi penuh berkah yang Allah jadikan sebagai tempat turunnya risalah, tempat berhimpunnya kebudayaan dan sebagai tempat hijrah para nabi-Nya. Di dalamnya terdapat kiblat pertama dan tempat di-isra’-kannya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, di dalamnya pula Dajjal akan binasa melalui tangan al-Masih ‘alayhis salam dan dibinasakannya Ya’juj dan Ma’juj. Serta di dalamnya pula, bebatuan dan pepohonan akan berkata, “Wahai muslim! Wahai hamba Allah! Ini ada Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah dia!”, maka Yahudi pun akan binasa melalui tangan hamba-hamba Allah yang shalih di bumi Palestina.
Rasulullah pernah mengimami seluruh Nabi di Masjid al-Aqsha, agar imamah (kepemimpinan) dan siyadah (kekuasaan) di atas Masjidil Aqsha tetap langgeng, agar seluruh makhluk tunduk terhadap Islam. Selama perputaran sejarah, kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri saling bermusuhan untuk memperebutkannya, mereka saling membinasakan dan mengalahkan dalam rangka menguasainya dan mendudukinya. Dikarenakan Palestina adalah bumi Allah terpilih (the choosen land) yang Allah memilihnya sebagai tempat hijrah bagi khalil (kesayangan)-Nya Ibrahim dan kalim-Nya (kalim: orang yang diajak bercakap) Musa, sebagai tempat kelahiran Isa dan tempat isra’-nya Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Di saat kemunculan Islam, Palestina saat itu di bawah kekuasaan imperium Romawi yang salibis paganis. Maka merupakan keharusan mensucikan Palestina dari najis-najis mereka. Nabi telah menulis surat kepada Raja Romawi dan mengutus kepadanya beberapa utusan. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah mengerahkan pasukan dalam jumlah besar, dan Palestina ketika itu termasuk salah satu begian negeri Syam. Belum pernah terjadi saat itu adanya pembatasan-pembatasan wilayah/area yang dipisahkan oleh perjanjian ‘Saikus baiku’ yang memilukan (seperti saat ini).
Di antara pengutusan yang pernah dilakukan Nabi ke negeri Syam dan Palestina adalah:
Pertama: Pengutusan Mu’tah yang terjadi pada bulan Jumadil Akhir di tahun kedelapan Hijriah, tatkala Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengutus para pembesarnya ke Mu’tah (suatu tempat di Yordan sekarang yang dekat dengan kota Kurk), suatu desa di negeri Syam, dalam rangka menuntut balas atas pembunuhan kaum muslimin di sana. Maka, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk memberikan kepemimpinan kepada maula (mantan budak) beliau, Zaid bin Haritsah, sembari beliau bersabda: “Jika Zaid terbunuh maka Ja’far bin Abi Thalib sebagai penggantinya, jika Ja’far terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah sebagai penggantinya,” mereka pun keluar dengan jumlah hampir 3000 pasukan. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga turut keluar mengantarkan mereka sampai di pertengahan perjalanan mereka. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga tiba di ‘Mi’aan’ (sebuah kota yang terkenal di selatan Yordan, sejauh 200 km dari Amman) lalu tersiar kabar bahwa Raja Romawi Heraklius telah keluar bersama seratus ribu pasukan, disertai sekutunya Malik bin Zufalah dengan seratus ribu pasukan lainnya, dari kaum Nashrani Arab, dari suku Lakhum, Judzam dan kabilah Qudha’ah dari suku Bahra’, Balla dan Balqain.
Kaum muslimin pun bermusyawarah di sana, mereka berkata: “Kita tulis surat kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam apakah beliau memerintahkan kita (untuk tetap maju) dengan perintahnya ataukah beliau menolong kita,” maka berkata Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu: “Wahai kaum! Demi Allah, sesungguhnya kalian keluar berjihad mengharapkan apa yang ada di depan kalian, yaitu syahid! Dan kalian tidaklah memerangi manusia karena kuantitas maupun kekuatan! Akan tetapi kita memerangi mereka hanyalah semata-mata karena agama ini, yang Allah telah memuliakan kita dengannya… maka berangkatlah! Karena ada dua kebaikan menunggu di sana: yaitu kemenangan atau syahid!”
Para sahabat pun menyepakatinya, kemudian mereka bangkit. Ketika kaum muslimin sedang mendirikan tenda di Balqa’, mereka bertemu dengan pasukan Romawi dalam jumlah besar, maka kaum muslimin berhenti di dekat Mu’tah sedangkan pasukan Romawi berada di desa yang bernama Masyarif, akhirnya mereka bertemu dan saling berperang dengan peperangan yang dahsyat.
Di sela peperangan, Amirul Muslimin Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu terbunuh dan bendera saat itu berada di tangannya, lantas Ja’far memungut bendera tersebut, dan beliau turun dari kuda perangnya yang berambut pirang dan menyembelihnya, kemudian beliau maju berperang hingga tangan kanannya terputus, diraihnya bendera dengan tangan satunya hingga tangan kirinya terputus pula. Akhirnya beliau memeluk bendera tersebut hingga akhirnya beliau radhiyallahu ‘anhu gugur dalam usia 33 tahun -menurut pendapat yang terpilih-. Lalu, bendera diambil oleh Abdullah bin Rawahah al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, beliau termenung sesaat lalu sejurus kemudian beliau memantapkan diri dan maju berperang hingga akhirnya turut terbunuh.
Ada pendapat mengatakan, sesungguhnya Tsabit bin Arqam-lah yang memegang bendera selanjutnya, dan kaum muslimin menghendaki beliau memimpin mereka. Namun beliau enggan, sehingga Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang mengambil bendera. Beliau mendorong kaum muslimin untuk tetap maju dan beliau berlaku gentle hingga akhirnya beliau membebaskan kaum muslimin dari musuh mereka, dan Allah menganugerahkan kemenangan melalui kedua tangannya. Rasulullah telah menceritakan hal ini seluruhnya ketika di Madinah pada hari itu, di saat beliau berdiri di atas mimbar, beliau mengumumkan gugurnya para pembesar sahabat satu persatu kepada mereka dan kedua mata beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam bercucuran air mata. Hadits ini terdapat dalam ‘ash-Shahih’, akhirnya malam hari tiba dan kaum kuffar berhenti berperang.
Melihat banyaknya jumlah musuh dan sedikitnya jumlah kaum muslimin dibandingkan mereka, tidak banyak korban dari kaum muslimin yang terbunuh menurut penuturan ahli sejarah. Mereka tidak menyebutkan nama-nama korban kaum muslimin melainkan hanya sekitar sepuluh orang saja. Kaum muslimin kembali maju berperang untuk kesekian kalinya, dan Allah senantiasa melindungi dari kejahatan kaum kafir, segala pujian dan sanjungan milik Allah, dimana peperangan ini mendasari peperangan melawan Romawi berikutnya dan menghancurkan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.
Kedua: Pengutusan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma. Pengutusan ini merupakan penyempurna pengutusan ayahnya, Zaid bin Haritsah sebelumnya, sekaligus membalas pasukan Romawi yang telah membunuh ayahnya di Mu’tah. Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang memerintahkan pengutusan Usamah dan Nabi saat itu berada di atas pembaringan kematian, dan pasukan Usamah saat itu berkumpul di Jarfi di saat wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam.
Termasuk petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah, beliau tidak memulai memerangi suatu kaum sebelum menyampaikan dakwah dan mengajaknya kepada Allah Ta’ala. Rasulullah benar-benar memegang manhaj ini sebagai bentuk aktualisasi berpegangnya beliau kepada perintah Allah Ta’ala. Beliau senantiasa memegang manhaj ini terhadap seluruh kaum yang memeranginya baik dari kabilah Arab ataupun raja-raja dan pembesar di zamannya. Beliau mendakwahi mereka dan mengutus utusan kepada mereka serta mengirim surat-surat beliau yang mengajak kepada Allah, tanpa terkecuali seorang pun dari mereka. Di antaranya adalah:
Surat beliau kepada Raja Romawi Heraklius. Dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: Bahwasanya Abu Sufyan mengabarkan: “Aku pernah bersama Rasulullah barang sesaat dan hanya ada aku dan beliau,” lantas Abu Sufyan berkata: “Tatkala aku di Syam, datang sebuah surat dari Rasulullah kepada Heraklius, yaitu pemimpin tertinggi Romawi.” Beliau melanjutkan, “Komandan pasukan Kalbi datang dengan surat tersebut, kemudian dia serahkan kepada Raja Bashra dan Raja Bashra menyerahkannya kepada Heraklius, yang isinya:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada Raja Romawi Heraklius…
Keselamatan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk…
Setelah itu:
Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam, maka masuklah ke dalam agama Islam maka engkau akan selamat, dan niscaya Allah akan membalasmu dengan ganjaran dua kali lipat. Jika engkau berpaling, maka sesungguhnya bagimu dosa seluruh pengikutmu…
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. Ali Imran: 64)
[Disalin dari status fanpage Radio Rodja, dari Majalah al-Ashalah]