Guru dan Dua Permainannya

23 Agustus 2012

Seorang guru sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur dan di tangan kanannya ada penghapus. Guru itu berkata, "Saya memiliki sebuah permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur dan di tangan kanan saya ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, katakan 'Kapur!' dan jika saya angkat penghapus ini, katakan 'Penghapus!'" Murid-muridnya pun mengerti dan mengikutinya. Guru mengangkat tangan kanan dan tangan kirinya secara bergantian. Semakin lama semakin cepat.


Beberapa saat kemudian guru kembali berkata, "Baik, sekarang perhatikan! Jika saya angkat kapur, katakan 'Penghapus!', dan jika saya angkat penghapus, katakan 'Kapur!' Kemudian ulangi seperti tadi." Tentu saja murid-murid tadi keliru dan bingung serta sangat sulit untuk mengubahnya.

Namun lambat laun, mereka sudah terbiasa dan tidak lagi bingung. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Guru tersenyum kepada murid-muridnya.

"Anak-anak, begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, dan yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh-musuh kita memaksa kita dengan berbagai cara untuk menukarkan sesuatu dari yang haq menjadi bathil dan sebaliknya. Pertama-tama mungkin akan sulit bagi kita menerima hal itu, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian akan terbiasa dengan hal tersebut. Dan perlahan-lahan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak akan pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika yang sudah ditetapkan syariat. Keluar berdua-duaan, berkasih-kasihan bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, seks sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan tren, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup dan lain-lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?" tanya guru kepada murid-muridnya.

"Paham, Pak Guru," jawab murid-murid.

"Baik, permainan kedua," ujar guru melanjutkan.

"Saya mempunyai sebuah Qur'an, dan saya akan meletakkannya di tengah karpet. Sekarang kalian berdiri di luar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah karpet tanpa menginjaknya?" tanya guru tersebut.

Para murid pun berpikir. Ada yang mencoba dengan tongkat, dan sebagainya namun tidak berhasil. Akhirnya guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan diambilnya Qur'an itu. Ia memenuhi syarat, yaitu tidak menginjak karpet.

"Anak-anak, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak kita secara terang-terangan. Karena tentu saja kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang awam pun tak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar," ucap guru menjelaskan.

"Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, harus dibangun dengan pondasi yang kuat. Begitulah Islam. Jika ingin kuat, harus dibangun dengan aqidah yang kuat pula. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu sulit kalau dimulai dari pondasinya dulu. Tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan, lalu kursi dipindahkan, dan lemari dikeluarkan terlebih dahulu, baru rumah itu dihancurkan."

"Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam kita secara terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai kalian, cara hidup, pakaian, dan lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim tapi kalian telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara mereka. Itulah yang mereka inginkan. Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikr (Perang Pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh kita," kata guru melanjutkan penjelasannya.

"Kenapa mereka tidak berani menginjak-injak kita secara terang-terangan, Pak?" tanya salah seorang murid di antara mereka.

"Sesungguhnya dahulu mereka melakukannya secara terang-terangan, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi. Begitulah Islam kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, dan akhirnya hancur. Tapi kalau diserang secara terang-terangan, baru mereka akan sadar, dan akan bangkit serentak melawannya," kata guru menjawab pertanyaan muridnya.

"Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kali ini, dan mari kita berdoa terlebih dahulu sebelum pulang."

Matahari bersinar terik tatkala murid-murid itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

[Disadur dari Buletin Remaja Islam al-Hikmah Edisi 1/Tahun 1/V/1429]

Blog Buletin al-Hikmah | oleh OSIS SMA Wahdah. Diberdayakan oleh Blogger.

al-Hikmah

Mulia dengan Ilmu

Archives

Followers